top of page

Outer Walls, Gates and Fortifications

Beteng, Plengkung dan Pojok Beteng

Jl. Patehan Kidul No.4, Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55133, Indonesia

B.1

Attribute #

Deskripsi

Description

Beteng, Plengkung dan Pojok Beteng (atau disebut Bètèng Baluwarti) Kraton dibangun dari tahun 1782-1787 dengan tambahan pada tahun 1809. Desain benteng menggabungkan elemen desain Jawa dan Eropa. Tembok, gapura dan benteng luar keraton terdaftar sebagai cagar budaya nasional pada tahun 2010 (SK Menteri No. PM.07/PW.007/MKP/2010). Tembok luar dibuat setinggi 3,5 m dan lebar 5 m dan menutupi seluruh Kompleks Kraton dan pemukiman. Bentuk benteng ini mirip persegi panjang, namun dinding timur lebih panjang. Tembok (dari timur ke barat) panjangnya 1,2 km, sedangkan arah utara ke selatan tembok barat adalah 940 m. Tembok timur kompleks berukuran panjang 1,1 km. Dinding benteng terbuat dari bata yang diplester dengan campuran pasir dan kapur.


Di empat (4) sudut beteng (Pojok Beteng) terdapat masing-masing satu bastion (tempat jaga). Pojok Beteng juga terbuat dari bata yang diplester dengan campuran pasir dan kapur. Denah Pojok Beteng bersudut tiga dan di setiap ujungnya dibangun menara berbentuk sangkar silinder. Di dinding di antara bastion, terdapat sepuluh landasan untuk menempatkan meriam. Tiga dari bastion (1.B.1.5) yang tersisa, yaitu Joktèng Kulon (di Barat Daya); Joktèng Lor (Barat Laut); dan Joktèng Wetan (Tenggara). Joktèng Lor Wetan (Timur Laut) hancur dalam serangan terhadap Kraton oleh pasukan Inggris pada tahun 1812 (dijelaskan lebih rinci di bagian 2B) bersama dengan tembok bagian Timur. Benteng Timur Laut (Joktèng Lor Wetan) dibangun kembali pada tahun 2020.


Lima (5) gerbang berbenteng menghubungkan Kompleks Kraton dengan dunia luar. Gerbangnya juga terbuat dari bata yang diplester dengan campuran pasir dan kapur, serta dihiasi dengan sejumlah desain dan motif hias. Empat (4) gerbang masih tersisa, dengan Plengkung Nirbaya (1.B.1.1) di selatan; Plengkung Jagabaya (1.B.1.2) di barat; Plengkung Jagasura (1.B.1.3) di barat laut; Plengkung Tarunasura (1.B.1.4) di timur laut. Plengkung Madyasura (di sebelah timur) ditutup secara permanen pada tahun 1812 dan kemudian dibongkar pada tahun 1923. Gerbang Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya menggunakan desain yang dipengaruhi oleh Kerajaan Majapahit, sedangkan gerbang Plengkung Tarunasura dan Plengkung Nirbaya memiliki atap dan benteng. Termasuk desain berbentuk lengkung bergelombang. Plengkung Nirbaya memiliki makna yang tinggi dalam Sumbu Filosofi, dan merupakan tempat dilewatkannya jenazah Sultan dari Kompleks Kraton sebagai bagian dari upacara pemakaman kerajaan. Merupakan tradisi bahwa seorang Sultan yang masih hidup tidak pernah melewati gerbang Plengkung Nirbaya. Keberlanjutan makna semua gerbang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dibuktikan dengan menempatkan sesajen di gerbang sebagai bagian dari ritual tahunan Tingalan Dalem.


Tembok luar juga masih memiliki makna pentingbagi Kraton, abdi dalem kerajaan, dan komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dengan ritual Mubeng Beteng, yaitu tradisi yang diadakan pada Malam Tahun Baru Jawa, ketika peserta ritual mengelilingi dinding luar Kraton dalam keheningan (disebut Tapa Bisu dalam bahasa Jawa) sambil merenungkan kehidupan dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Upacara ini konon terinspirasi dari tawaf Islam mengelilingi Ka’bah di Mekah serta pradaksina dalam mengitari kuil Hindu-Buddha.

Alamat

Address

Jl. Patehan Kidul No.4, Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55133, Indonesia

Detil Atribut

Attribute Details

Attribute Type

Structure

Attribute #

B.1

Component

1

Year Built

1782 CE

Ownership

The Sultanate

The outer walls, gates and fortifications (Bètèng Baluwarti in Javanese) of the Kraton was constructed from 1782-1787 with additions in 1809. The design of the fortifications combines Javanese and European design elements. The palace outer walls, gates and fortification were registered as national cultural heritage in 2010 (SK Menteri No. PM.07/PW.007/MKP/2010). The outer walls were created 3.5 m high and 5m deep and covered the whole Kraton Complex and settlements. The shape of the fortifications is similar to a rectangle, however, the eastern wall is longer. The walls (from east to west) are 1.2 km long, while the north to south direction of the western walls is 940 m. The easter wall of the complex measures 1.1 km in length. The walls of the fort are made of bricks plastered with a mixture of sand and limestone.

Four (4) bastions were created on each of the corners of the fortress. The bastions are also made of bricks plastered with a mixture of sand and limestone. The bastion have three corners, at each end of which a turret is built in the shape of cylindrical cage. On the walls between the bastions, there are ten slots for placing cannons. Three of the bastions (1.B.1.5) remain, namely Joktèng Kulon (in the Southwest); Joktèng Lor (Northwest); and Joktèng Wetan (Southeast). Joktèng Lor Wetan (Northeast) was destroyed in the attack on the Kraton by British forces in 1812 (described in more detail in section 2B) along with the Eastern section of the wall. The Northeast Bastion was reconstructed in 2020.

Five (5) fortified gates connected the Kraton Complex with the outside world. The gates are also made of bricks plastered with a mixture of sand and limestone, and decorated with designs and motifs. Four (4) of the gates still remain, with Plengkung Nirbaya (1.B.1.1) in the south; Plengkung Jagabaya (1.B.1.2) in the west; Plengkung Jagasura (1.B.1.3) in the northwest; Plengkung Tarunasura (1.B.1.4) in the northeast. Plengkung Madyasura (in the east) was closed permanently in 1812 and then dismantled in 1923. The Plengkung Jagasura and Plengkung Jagabaya gates uses a design influenced by the Majapahit Kingdoms, while the Plengkung Tarunasura and Plengkung Nirbaya gates have roofs and fortifications and include a wave shaped design. The Plengkung Nirbaya has high significance in the Cosmological Axis, and is where the Sultan’s body is taken from the Kraton Complex as part of the royal funeral rites. It is a tradition that a living Sultan never passes through Plengkung Nirbaya gate. The ongoing significance of all the gates to the Sultanate of Ngayogyakarta Hadining is evidence through the annual practice of placing sesajen (offerings) the gates as part of the Tingalan Dalem rituals.

The outer walls also have ongoing significance to the Kraton, royal courtiers and local community. This is evidenced by Mubeng Beteng, a tradition held during Javanese New Year’s Eve, where the people circle the outer walls of the Kraton in silence (called Tapa Bisu in Javanese) while reflecting on one’s life and hope for a better future. The ceremony is said to be inspired by the Islamic tawaf in circling the Ka’bah in Mecca as well as the pradaksina in circling a Hindu-Buddhist temple.

Map

bottom of page